Jumat, 19 Desember 2008

STATMENT KPW - STN SUMATERA UTARA

Statemen KPW – STN Sumatera Utara Mengutuk Pembakaran 700 rumah Warga Oleh POLRI di Bengkalis, Riau

Nomor : 003/B/KPW-STN Sumut/Des-2008
Hal : Press Release
Lamp : -

Bukan Bom Napalm, Tapi Modal, teknologi, dan Sarana Produksi Bagi petani
Tangkap, adili, dan Hukum Seberat-beratnya Seluruh Personil POLRI yang terlibat Membakar Rumah-rumah Rakyat
Bekukan Aktifitas PT. Arara Abadi, Kembalikan Tanah Rakyat !

Hari kamis (18/12/08), 2 helikopter berputar-putar sambil menjatuhkan bom napalm, sebuah jenis bom yang dijatuhkan pasukan AS untuk membumihanguskan Vietnam, yang diarahkan kepada pemukiman penduduk Dusun Solok Bongkal, Desa Beringin, Kec. Pinggir, Bengkalis, Riau. Dalam sekejap, 700-an rumah warga hangus terbakar, belum lagi tanah pertanian, alat produksi, dan perabotan yang tak sempat diselamatkan. Bukan itu, 1000 preman plus 500an aparat bersenjata lengkap dikerahkan untuk menggempur warga yang ketakutan. Polisi melepaskan tembakan membabi buta yang bukan saja untuk menakut-nakuti warga, tetapi juga diarahkan kepada warga. Akibatnya, 2 orang warga terkena tembakan. Ironisnya, seorang bocah bernama Fitri (2th), yang karena ketakutan, akhirnya tewas terperosok di tanah. Dalam kejadian ini, sebanyak 200 warga ditahan di polsek Mandau, dan 400-an warga yang bersembunyi di hutan Kampung dalam, kini dikepung layaknya pemberontak oleh ratusan polisi ditambah preman. Ternyata, hasil kerjasama POLRI dengan kemiliteran AS adalah teknik menggukan bom napalm untuk membumi hanguskan rumah-rumah rakyat.


Tindakan brutal, dan melampaui batas kemanusiaan ini dilakukan oleh apparatus Negara, yaitu Kepolisian Republik Indonesia, yang tali sepatunya saja berasal dari duit rakyat. Anehnya, polisi yang bersama ribuan preman melakukan penggusuran tanpa mengantongi keputusan pengadilan, hanya berdasarkan pesanan (tentunya dengan sokongan duit) dari PT. Arara Abadi. Bagaimana mana polisi menjadi abdi hukum, jika hukum dengan mudah mereka injak untuk memuaskan pengusaha.

Sesuai izin yang diberikan pemerintah, di lokasi ini PT Arara Abadi hanya diberi kewenangan atas pengelolaan kawasan hutan, bukan untuk memilikinya. Tetapi dalam perkembangannya, PT Arara Abadi mengklaim kepemilikan atas lahan tersebut, dan terlebih pemerintah seolah lepas tangan, maka anak perusahaan Sinar Mas Group ini pun bertindak sewenang-wenang untuk mengusir warga, termasuk berkali-kali mengerahkan preman. Padahal, tanah seluas 5 ribu hektar ini sebenarnya merupakan tanah ulayat, yang secara histories tercatat dalam dokumen-dokumen resmi, bahkan mayoritas warga punya bukti kepemilikan terhadap lahan tersebut.

Sudah menjadi hukum tidak tertulis di negeri ini, bahwa pemerintah akan selalu menjadi pelayan bagi kepentingan pengusaha, dan aparatusnya (Polri dan pengadilan) akan menjadi tukang pukul alias preman berseragam dari fihak korporasi. kejadian-kejadian ini sudah berlansung cukup lama, dan terjadi di hampir semua daerah, tapi tidak juga ada keinginan DPR atau lembaga-lemabaga lain untuk mengusutnya.

Kini, dengan kejadian di Bengkalis Riau, kami menyatakan bahwa kampanye anti premanisme yang digalakkan Kapolri yang baru adalah bohong belaka. Mana mungkin mereka melawan premanisme, jika watak premanisme begitu lengket dengan institusi polri saat ini. Dan ternyata, slogan Polri yang berbunyi “pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat”, diterjemahkan dengan berbagai bentuk aksi kekerasan teroganisir yang ditujukan kepada kelompok sipil. Alih-alih melindungi rakyat, malah rakyat merasa Polri sebagai musuh yang merusak hak-hak politik, hak berdemokrasi, dan hak untuk hidup.

Berdasarkan kenyataan diatas, maka Komite Pimpinan Wilayah Serikat Tani Nasional (KPW – STN) Sumatera Utara menyatakan sikap sebagai berikut;

1. Mengutuk tindakan POLRI yang telah melakukan aksi kekerasan, menjatuhkan bom napalm, menembak, dan menangkap ratusan warga suluk Bongkal. Kami menuntut kepada Kapolri, demi membuktikan konsistensinya melawan premanisme dan memulihkan citra polri, agar segera memecat, mengadili, dan menghukum seberat-beratnya seluruh personilanya yang terlibat dalam kasus tersebut;

2. Menuntut kepada Kapolri agar segera mencopot Kapolda Riau, dan menyeret ke pengadilan HAM, Direktur Reskrim Polda Riau, Alex mandalika, karena telah memimpin aksi kekerasan ini;

3. Bekukan Aktifitas perusahaan PT. Arara Abadi, dengan terlebih dahulu mencabut izin usahanya, serta menangkap dan mengadili pimpinan perusahaan PT. Arara Abadi; Cabut SK Menteri Kehutanan nomor 743/Kpts-II/1996

4. Kembalikan seluruh tanah ulayat milik warga suluk Bongkal; rehabilitasi rumag-rumahnya, serta berikan ganti rugi atas kerusakan alat produksi dan lahan pertanian mereka;

5. Bebaskan seluruh 200 orang aktifis dan warga yang tertangkap tanpa syarat;

6. Meminta kepada KOMNAS HAM agar segera turun ke lapangan, memeriksa, dan menyelidiki kasus pelanggaran HAM Berat yang sudah dilakukan oleh POLRI dan PT. Arara Abadi;

Demikian pernyataan ini kami buat. Tegakkan demokrasi dan kesejahteraan sekarang juga!

Medan, 19 Desember 2008

Tanah, Modal, Tekhnologi Murah-Massal untuk Kaum Tani Sekarang Juga


Komite Pimpinan Wilayah
Serikat Tani Nasional
Sumatera Utara


Surung hutagaol
Pjs. Ketua

Randy Syahrizal
Sekretaris

BERITA PERJUANGAN



Jum’at/28 November 2008, BARAK Simarimbun - Tambunan, Posko Pembelaan Rakyat Miskin (POPRAM) Kec. Siantar Simarimbun berhasil mengadvokasi/mendampingi keluarga Pantun Aritonang, saat istrinya Herawati Br Sidabutar mau melahirkan dan harus dioperasi. Biaya Operasi ditaksir oleh salah satu dokter berkisar sampai dengan Rp 4,5 juta. Uang sebanyak itu tak akan mungkin dapat dicari dalam waktu singkat, sementara Harawati Br Sidabutar harus secapatnya dioperasi karena telah mengalami pendarahan. Akhirnya petugas POPRAM ikut mendampingi, dengan menguruskan kartu JAMKESMASnya di PT. Askes. Dengan kehadiran kartu tersebut, Br. Sidabutar itu langsung dioperasi secara gratis, dan berhasil melahirkan bayi perempuan dengan selamat.

Minggu/30 November 2008, BARAK Simarimbun – Tambunan, “Kartu JAMKESMAS memang harus dibagikan tepat sasaran, artinya tepat dibagikan kepada yang berhak, namun saat ini kendala utamanya adalah masih adanya warga miskin dikelurahan Simarimbun yang belum keluar kartu Jamkesmasnya” Kata Rajin Marpaung, yang merupakan Koordinator POPRAM, disela-sela acara Pembagian Kartu Jamkesmas dan Sosialisasi Hak Jaminan Kesehatan Gratis bagi Rakyat Miskin. Acara tersebut dihadiri oleh sekurang-kurangnya 30-an masyarakat miskinn dan bertempat di Posko induk POPRAM kec. Siantar Simarimbun. Acara tersebut dipandu oleh Parluhutan Banjarnahor (Ketua SRMI Kota Siantar) dan Randy Syahrizal (SRMI Sumatera Utara). Menurut Prima, masyarakat miskin harus bersatu dalam paying organisasi SRMI ataupun POPRAM untuk dapat berjuang menuntut hak bersama-sama. “Tak akan mungkin kesejahteraan dapat terwujud jika rakyat tidak bersatu”, begitu katanya. Randy Syahrizal disela-sela acara juga menyampaikan bahwa program “JAMKESMAS lahir sebagai upaya pemerintah untuk menghalau amuk massa akibat krisis ekonomi yang mendalam. Jamkesmas adalah buah perjuangan kita yang harus kita petik dan kita manfaatkan. Jamkesmas adalah bukti kemenangan kecil, dan kita harus berjuang lebih giat lagi untuk mendapatkan kemenangan besar yang gemilang, yakni Demokrasi dan Kesejahteraan”, ucapnya.

Jumat, 12 Desember 2008

MEMAHAMI KRISIS FINANCIAL DAN GAGALNYA EKONOMI PASAR BEBAS


Oleh: Randy Syahrizal*)

Dalam ekonomi kapitalisme, seperti yang dijelaskan oleh Marx dalam capital, selalu berhadapan dengan krisis-krisis umum, yang dapat dijelaskan oleh penyebab utama (mono-causal); (1). Ketidakseimbangan antara produksi kapitalis dengan kebutuhan real masyarakat, yang selalu dijelaskan dengan anarkisme produksi. (2). Ketidakseimbangan antara keluaran (kapasitas produksi) dengan kemampuan konsumsi massal—yang parameternya adalah upah (daya beli) masyarakat. (3). Akumulasi berlebihan, yakni tidak cukupnya produksi nilai lebih, dibandingkan dengan jumlah capital yang diakumulasikan. Ketiga factor ini, dalam sirkuit produksi kapitalis, selalu membimbing pada krisis-krisis umum, yang kedalaman dan tingkat kerusakannya berakumulasi, hingga pada keruntuhannya.

Sejak tahun 1970-an, persisnya sejak periode keemasan kapitalisme berakhir, sistem kapitalis mendapati dirinya pada situasi stagflasi ekonomi, yaitu kombinasi antara pertumbuhan yang rendah dan inflasi. Di negara-negara kapitalis maju (AS dan Inggris) terjadi krisis kelebihan produksi (over production), yang selain didorong oleh kenaikan harga minyak dunia, juga disebabkan oleh pertumbuhan kapasitas produksi Jepang dan Jerman, serta proses industrialisasi yang berjalan di Korea Selatan, Brazil, Taiwan, dan Argentina.

Seperti yang dijelaskan oleh Keynes, bahwa krisis kapitalisme modern, yang mengacu pada great depression, masih mungkin untuk terus terjadi, sehingga memerlukan pencegahan berupa; full employment, pemanfaatan seluruh kapasitas produksi, dan pertumbuhan. Tapi dalam beberapa tahun ini menunjukkan, kapitalisme mengatasi stagflasi dengan pemotongan pajak, deregulasi, privatisasi, dan pasar tenaga kerja yang fleksibel—apa yang disebut neoliberalisme dan turunannya Structural Adjusment Program (SAP) di Negara berkembang.

Pertumbuhan ekonomi, yang menjadi mimpi ekonom-ekonom pro pasar bebas (Neoliberalisme) seperti Milton Friedman dkk, justru terus menurun dari tahun ketahun. Tahun 1970-an lebih lambat ketimbang 1960-an, tahun 1980an lebih lambat ketimbang 1970-an, 1990-an lebih lambat dari tahun 1980-an, demikian pula dengan tahun 2000-an. Kemunduran ini terus diusahakan untuk diantisipasi, salah satunya dengan mencoba mendorong permintaan, tapi bukan dengan menaikkan upah dan investasi ke public, melainkan menaikkan anggaran militer, yang juga dikembankan sebagai strategi imperium menguasai sumber daya alam dunia, terutama perang irak dan Afghanistan.

Makna politik dan Ideologis Krisis Finansial

Jangan panik! Demikian teriakan pemimpin bank sentral dan pemimpin negara kapitalis di seluruh dunia. Yang menarik, sekaligus mengundang kontroversi pihak kiri maupun kanan, adalah intervensi lebih jauh dari negara---sesuatu yang diharamkan oleh penganjur neoliberal---dan kemungkinan restrukturisasi baru system kapitalisme global untuk tata-dunia baru kapitalisme.

Pemerintah AS telah meluncurkan dana talangan sebesar 700 milyar USD. Pemerintah AS juga telah meluncurkan paket kebijakan AIG, perusahaan financial terbesar di dunia, dan membiarkan lehman brother mati. Di eropa, pemerintah sepakat untuk mengambil alih sejumlah Bank bermasalah dan menerapkan aturan baru dalam melakukan investasi.
Hantu “sosialisme” kini mengetuk pintu wall-street. Sebuah fenomena menarik terjadi di majalah bergengsi “the economics”, yang katanya dipersembahkan kepada marx dan sosialisme, yaitu sebuah karton yang menggambarkan presiden Sarkozy, presiden Perancis, sedang membaca “das capital” didepan gedung perjudian wall-street, New York. Lebih jauh lagi, presiden Sarkozy mengatakan bahwa “ide pasar adalah selalu benar adalah ide gila”.

Di AS, krisis financial telah memberikan energy baru kepada perubahan politik, yang sayangnya ditangkap oleh Obama dan Demokrat, bukan oleh kaum sosialis dan pekerja. Krisis financial benar-benar telah mendorong masyarakat pada ketidakpuasan terhadap skema kebijakan ekonomi partai berkuasa, partai republik, dan memberikan pilihan kritis kepada capres yang dianggap dapat menguasai persoalan ekonomi dan menuntaskan krisis. Sebuah aliansi politik dirancang oleh demokrat dan kaum tengah yang berdiri di belakang Obama, untuk mendominasi legislative dan eksekutif, sebagai jalan memudahkan penyelesaian politik terhadap krisis di tahun depan.

Di jerman, yang selama puluhan tahun dijaga oleh kebijakan sosial demokrasi (regulasi kapitalisme untuk melindungi kepentingan buruh, program social seperti pendidikan, dana pension, kesehatan,dll), akhirnya mengalami krisis setelah beberapa tahun terakhir cenderung menerapkan politik neoliberal. Bahkan dua partai utama yang berkuasa, yakni Kristen demokrat dan sosial demokrat, sudah mengalami krisis akibat kecenderungan neoliberalisme. Situasi ini mendorong hasil pemilihan umum bergeser kepada partai kiri yang lebih tegas menawarkan politik anti-neoliberal, yaitu Die Linke.

Pemerintahan kapitalis dimanapun, termasuk pendukung fanatiknya dimana saja, tentu tak mau membiarkan system ini terkapar begitu saja, tanpa usaha merestrukturisasi diri. Presiden Sarkozy dari Perancis, bersama dengan Jerman, berada di garda depan dalam seruannya untuk menghidupkan kembali bretton woods, yang sudah dilikuidasi sejak tahun 1971. Proposal Perancis dan sekutu eropanya, yang kemudian diloloskan dalam pertemuan pemimpin Asia dan Eropa (ASEM) di Beijing (22/10/08), telah memberikan sinyalemen terhadap kembalinya bretton woods jilid II tersebut. Tentu AS kesulitan menolak proposal ini, ditambah dengan kuatnya dukungan banyak pemimpin dunia, termasuk PM inggris, Gordon Brown, yang selalu menjadi sekutu AS.

Neoliberalisme tak Sanggup Atasi Krisis

Beberapa langkah meredam krisis, seperti yang sedang didemonstrasikan saat ini (nasionalisasi wall-street, dana bailout sebesar 700 milyar USD, dll) lebih jauh tak akan sanggup menghentikan kerusakan lebih parah dari krisis. Pusat krisis adalah sektor keuangan, tapi sektor produksi sudah merasakan dampaknya, dan akan berlansung lebih cepat ketimbang yang dipikirkan. Tiga besar produksi otomotif AS, yaitu General Motor (GM), Ford, dan Chrysler, mengalami kerugian besar. Mereka sedang memperjuangkan dana talangan untuk sektor Industri, dan jika itu gagal, maka pilihan mereka berikutnya adalah melakukan merger. Output dari produksi AS terus menurun, untuk tahun ini saja telah menyebabkan 750 ribu orang kehilangan pekerjaan, dan 159 ribu untuk bulan September saja.

Beberapa alasan kenapa serangkaian krisis tak sanggup menyelesaikan masalah;
Pertama, krisis financial tidak akan merestrart pertumbuhan ekonomi kapitalis. Artinya, stagflasi yang menjadi akar dari krisis ini, akan semakin memperparah kemunduran ekonomi kapitalis.Kedua, krisis telah meloncati lingkup krisis financial, dan telah meronrong pada krisis komoditas dan produksi pertanian, kejatuhan manufaktur, dan kejatuhan laba (keuntungan). Ketiga, masalah serius bagi ekonomi AS, dan menjadi ancaman bagi ekonomi dalam jangka waktu yang cukup panjang, adalah peningkatan utang. Hutang rumah tangga meningkat dari 50 persen dari PDB pada tahun 1980 menjadi 71 persen pada 2000, dan menjadi 100 persen pada tahun 2007. Pinjaman siswa adalah dua milyar dollar dalam tahun 1996-7, tapi meningkat $17 milyar di tahun 2006-7, menurut Badan Pendidikan. Pasar tenaga kerja kesulitan melunasi pinjaman yang jumlahnya telah melebihi rata-rata $20,000. Utang sektor keuangan adalah 21 persen dari PDB pada tahun 1980, namun telah meningkat menjadi 83 persen untuk tahun 2000, dan 116 persen dari PDB tahun 2007. Pemerintah membayar utang untuk pemotongan pajak orang kaya dan perang di timur tengah. Total Amerika hutang (hutang rumah tangga, bisnis, dan pemerintah) telah meningkat dua kali lipat sebagai proporsi dari PDB sejak 1980 dan 350 persen dari PDB sekarang. bahkan sebelum mengambil terbaru dramatis pada hutang baru oleh pemerintah. Hal ini adalah masalah struktural, karena perekonomian tidak dapat tumbuh dengan utang yang terlampau tinggi. Keempat, kejatuhan daya beli masyarakat, yang sekarang ini mencapai 40-50%, terutama lapisan sosial dari pekerja, kulit hitam, dan etnis lainnya, yang selama ini terdiskriminasi oleh kebijakan ekonomi penguasa amerika.

DUNIA SUDAH BERGANTI RUPA
Begitulah adanya, dunia sedang berganti rupa. Para pemimpin-pemimpin dunia khususnya Amerika Latin (Fidel Castro, Hugo Chavez dkk) yang berpaham kiri (anti neoliberalisme) sepertinya tak sabar melihat kehancuran sistem ekonomi kapitalisme. Mereka percaya seperti apa yang diramalkan Marx, bahwa sebagaimanapun hebatnya kapitalisme, tetap juga tak akan mampu mengatasi kontradiksi (baca: krisis)_ didalam kapitalisme itu sendiri. Jika ini benar, maka tak lama lagi dunia akan dihebohkan oleh kebangkrutan idieologi kapitalisme.

Agenda pasar bebas, seperti yang diagung-agungkan ekonom-ekonom Wall Street selama bertahun-tahun tidak juga mampu mengatasi kemiskinan, dan malah sebaliknya, semakin memiskinkan lapisan masyarakat klas bawah. Negara-negara dunia ketiga lambat laun memahami dan menyadari betapa selama ini mereka hanya menjadi sapi perahan dari Negara-negara kapitalis maju. Bagaimanakah kejadian selanjutnya..? Apakah Negara-negara dunia ketiga akan bersatu dalam membangun dunia yang bersolidaritas dan meraih kesejahteraan bersama, ataukah krisis financial hari ini dapat diatasi dengan konsolidasi Bretton Woods jilid II..?

*) Penulis adalah Sekretaris Wilayah - Serikat Tani Nasional (STN) Sumatera Utara, Wakil Ketua DPC – PBR Kota Pematangsiantar serta Pemerhati Ekonomi dan Politik.

MENCARI SOSOK ALTERNATIF DALAM PEMILU 2009

Oleh: Randy Syahrizal *)

Pemilu 2009 akan digelar pada 9 April 2009. Sebuah ritual demokrasi yang secara rutin digelar 5 tahun sekali ini menjadi babakan baru bagi lembaran sejarah pemerintahan di Indonesia. Kemajuan space demokrasi yang tak terhempang telah mewujudkan sebuah sistem pemilihan langsung secara umum bagi rakyat, baik dalam memilih anggota parlemen(DPR/DPRD Propinsi/DPRD kab/Kota) maupun pemerintahan (Eksekutif/Kepala Daerah) serta Presiden.

Sistem pemilihan secara langsung ini berawal dari asumsi mencari sosok pemimpin alternatif ditengah keberadaan elit-elit politik lama yang telah di vonis gagal dalam menyejahterakan rakyat selama bertahun-tahun. Asumsi ini juga dilatarbelakangi oleh kemuakan berbagai pihak, khususnya bagi elit-elit politik pro status quo dan orde baru, baik di Jakarta maupun dibeberapa daerah lainnya. Efek Reformasi 1998 memang telah menyumbangkan paradigma positif, khususnya bagi keterbukaan trend-trend maupun mainstream politik. Sejak reformasi bergulir, isu politik yang paling bertahan menjelang pemilu adalah soal sikap anti terhadap politisi busuk dan elit politik berlatar belakang militer.

Pemilu Paska Reformasi: Memusuhi Politisi Busuk

Meskipun kalimat “Gerakan Anti Politisi Busuk” sudah ramai diperbincangkan dalam seminar-seminar, lokakarya, pelatihan-pelatihan, pendidikan politik, kursus-kursus politik, maupun debat-debat politik, tapi belumlah menjadi sebuah wacana yang konkret dengan melahirkan solusi yang baik. Alhasilnya, konsolidasi-konsolidasi yang biasanya massif diselenggarakan setiap akan diselenggarakannya pemilu tersebut hampir menjadi sia-sia.

Secara garis besar, hasil-hasil perdebatan/perdiskusian pada forum-forum diatas adalah menemukan formula politik baru yang berkemampun memobilisasi, menyadarkan, bekerja dalam praktek nyata, fleksibel dalam menghadapi perubahan iklim politik, bertahan (resisten), dan berkemampuan dalam melahirkan sosok-sosok politisi alternatif, ataupun melahirkan alat-alat politik alternatif. Namun gagasan tersebut, meskipun tengah berjalan, juga menuai hasil yang belum maksimal. Kendala utama selain karena adanya upaya penggagalan dari kelompok reaksioner yang anti terhadap demokrasi (seperti contoh kasus kekerasan yang dilakukan FPI (Front Pembela Islam) dan FBR (Front Betawi Rempug) terhadap massa aksi PAPERNAS di Jakarta), maupun kendala yang datangnya dari internal gerakan itu sendiri, yakni tidak konsisten dan tidak setianya kaum pergerakan dengan buah hasil pemikirannya sendiri. Kesimpulannya secara singkat adalah “Berani berpikir tapi tidak berani bertindak.”

Politisi busuk memang seperti momok yang sangat menakutkan. Namun kata-kata seperti Politisi busuk perlu dijelaskan secara detail, jika ingin ditujukan kepada masyarakat. Gunanya tak lain adalah agar masyarakat luas mengerti dan memahami kata-kata tersebut. Saat ini, wacana tersebut berhenti ditengah jalan. Kegagalan yang paling utama dalam gerakan anti politisi busuk adalah karena gerakan tersebut tidak “berani” menunjuk elit-elit politik yang masuk dalam kategori elit politik busuk. Sehingga masyarakat kesulitan dalam mengenali wajah-wajah politisi busuk, yang seharusnya dibusukkan agar tidak lagi berkuasa. Yang paling menggelikkan adalah pantun-pantun atau kalimat-kalimat jenaka yang dikeluarkan dengan maksud menyindir, akan tetapi tidak memiliki muatan politik alternatif sedikitpun, misalnya “Pemilu 1999 memilih kucing dalam karung, Pemilu 2004 memilih maling secara langsung”. Persoalan tersebut, secara pasif sebenarnya ingin mengajak masyarakat untuk melupakan pemilu (golput), karena hasilnya akan sama saja. Inilah yang saya maksud dengan ketidakkonsistenan cara berpikir dan bertindak.

Gelora Pemimpin Alternatif 2009: Dapatkah diterima Rakyat..?

Paradigma alternatif memang hal yang baru, jika Orde Baru sebagai ukurannya. Kita bisa pastikan bahwa tidak ada alam demokrasi dalam pemerintahan Orde Baru. Celakanya, sosok-sosok kritis dengan begitu cepat dibungkam dengan tembok penjara, penculikan maupun penembakan misterius (petrus). Begitulah adanya, sehingga embrio “alternatif” berjalan lamban dan tidak dinamis.

Seharusnya, dengan berkembangnya alam liberalisme politik di Indonesia, politik alternatif mudah untuk berkembang subur. Namun tidaklah mudah bagi rakyat untuk mengetahui dan memahami keseriusan dan tujuan-tujuan fundamental gerakan alternatif itu sendiri.
Dalam tekanan krisis ekonomi yang mengglobal dan negara dunia ketiga sebagai subjek utama penderitanya, politik populis memang menjadi “jualan” yang menjanjikan bagi partai-partai politik beserta politisinya. Ada 38 partai politik nasional yang bertarung dalam pemilu 2009, dan sebagian besar dari mereka tak lagi gemar memainkan propaganda abstrak dan tak populis. Tingkat kesadaran dan kekritisan rakyat memang sedang ditempah dengan keberadaan gerakan ekstraparlemen (aktivis pro-demokrasi) yang terus memajukan jalan keluar dari persoalan-persoalan mendesak rakyat. Meskipun dibilang celaka, karena pada akhirnya sebagian besar partai politik menumpang ketenaran dalam situasi tersebut, dengan berlagak “seolah-olah” berpihak pada rakyat, dan tanpa rasa malu menimbun kebobrokan dan kegagalan-kegagalannya dengan menerbitkan iklan-iklan politik yang populis.

Kenyataan ini sangat wajar dalam sejarah perkembangan masyarakat. Situasi objektif yang sedemikian rupa, memang memaksa siapapun (terutama politisi) untuk lebih aktif berbicara rakyat. Namun yang paling penting adalah bagaimana melahirkan program-program jangka pendek (mendesak) untuk menjawab problem-problem masyarakat. Dalam kenyataan sebagian besar Parpol-parpol yang berlagak bagaikan Dewa penyelamat, seharusnya gerakan ekstra parlemen (aktivis pro demokrasi) mengambil peran aktif ditengah-tengah masyarakat untuk menjelaskan dan membimbing kesadaran rakyat agar memahami gelora alternatif tersebut. Adalah sebuah kabar gembira dimana banyak aktivis-aktivis pro-demokrasi sudah memandang penting arti sebuah pemilu sebagai mekanisme suksesi kekuasaan dan masuk dalam arena tersebut, baik sebagai Capres, Caleg/Caleg DPD dll. Ini adalah langkah maju untuk memahami makna penting merebut kekuasaan dalam arena pemilu.

Kekuasaan jika berada ditangan orang-orang yang menaruh perhatian serius terhadap persoalan-persoalan rakyat, pastilah menjadikan kekuasaan sebagai jalan untuk kesejahteraan. Ini adalah sebuah refleksi panjang, dan jawaban dari kegagalan reformasi 1998. Tak berlebihan kiranya jika seruan-seruan untuk memilih pemimpin berwajah baru dan memiliki visi-misi yang konkret dan kerakyatan, dikumandangkan dalam setiap seminar-seminar, diskusi, debat-debat dan ruang-ruang lainnya. Politisi lama sudah terbukti gagal, dan masa depan politik alternatif ada ditangan kita semua. Mendukung politik alternatif untuk perubahan atau tetap meyakini dan mengikuti politik feudal/patronase untuk langkah kemunduran, semua memang terserah kepada rakyat. Semoga dengan berkembangnya perpolitikan nasional saat ini bisa mengugah hati rakyat untuk dapat memahami mana politik alternatif/populis sejati dan yang gadungan. Wallahuaa’lam.

*) Penulis adalah Wakil Ketua DPC – PBR Kota Pematangsiantar, Koordinator Politik Sukarelawan Perjuangan untuk Pembebasan Tanah Air (SPARTAN) Siantar-Simalungun dan Aktivis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) P. Siantar

Jalan Baru Republik: Jalan Ekonomi Baru dan Kepemimpinan Baru

Sejak krisis yang menerjang tahun 1997, model penyelesaian krisis yang dilakukan oleh pemerintah masih bertumpu pada cara-cara yang dianjurkan oleh IMF dan WTO. Bukannya menyembuhkan penyakit, luka yang ditimbulkan oleh resep-resep mereka, semakin memperparah situasi ekonomi Indonesia. Jumlah kemiskinan sudah mencakup setengah dari jumlah populasi yang berjumlah lebih dari 200 juta orang. Tingkat pengangguran mencapai 40 % dari angkatan kerja, Adapun penganggur tak kentara (under employment), yaitu orang yang bekerja satu minggu kurang dari 35 jam, berjumlah sekitar 40 juta orang, ditambah pencari kerja baru tiap tahun sebanyak 2,1 juta sampai 3,16 juta jiwa. Tingginya angka pengangguran di Indonesia bukan hanya ancaman bagi Indonesia, tetapi juga sudah menjadi ancaman bagi kawasan/regional Asia tenggara karena Indonesia menyumbang angka pengangguran dikawasan ini sebesar 60,1%.

Pemerintah boleh berbangga dengan data-data statistik yang disajikan oleh beberapa lembaga survey. Akan tetapi, beberapa data yang ditunjukkan sangat bertentangan dengan realitas ekonomi yang dirasakan oleh rakyat. Indikator yang digunakan oleh pemerintah adalah Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) yang masih memperlihatkan gejala pertumbuhan yang positif. pertumbuhan domestik bruto sebesar 6.3% (year-on-year), inflasi ditekan hingga 6.3% dari 13.1% (year-on-year) di awal 2007, suku bunga BI merosot tajam hingga8.0% di bulan Desember lalu, cadangan devisa melonjak 27% hingga US$ 57.054 milyar, FDI naik tajam menjadi Rp 91.5 triliun (Januari-November), surplus neraca perdagangan sebesar 2.8% dari PDB. Wapres Yusuf Kalla sudah terlanjur mengeluarkan pernyataan kepublik bahwa “krisis ekonomi Indonesia sudah lewat”, pernyataan ini tentunya mengundang kerawanan. Data- data statistik ini, benar-benar berdiri diluar keruwetan perekonomian Indonesia. Di Makassar, seorang ibu dan anaknya meninggal dunia karena sudah berhari-hari tidak makan. Di berbagai daerah, rakyat menjerit akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Belum lagi, fenomena rakyat antri BBM yang memenuhi halaman pemberitaan media massa setiap hari.

Problem Ekonomi Ekonomi Nasional

Persoalan yang cukup serius, dirasakan bangsa Indonesia saat ini adalah kelemahan dalam tenaga-tenaga produktif (tekhnologi dan sumber daya manusia), ditambah moral pemimpinnya yang bermentalitas inlander. Ekonomi berjalan sangat sulit, bisa dilihat dari situasi keterpurukan industri dalam negeri, pertumbuhan Industri berjalan sangat lambat beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan industri makanan, minuman, dan tembakau sebesar 5,0 persen, industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki sebesar 4,5 persen, industri barang kayu dan hasil hutan 4,0 persen, serta industri kertas dan barang cetakan sebesar 6,8 persen. Kelompok industri lainnya, industri pupuk, kimia dan barang dari karet ditargetkan tumbuh 8,0 persen, industri semen dan barang galian non logam sebesar 7,0 persen, industri logam dasar, besi, dan baja 6,0 persen, industri alat angkut, mesin, dan peralatan 12,4 persen, serta industri barang lainnya 6,2 persen.

Perekonomian Indonesia saat ini, dicirikan oleh beberapa faktor berikut: (1). Pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada investasi dan menggenjot ekspor. Ibaratnya, perekonomian Indonesia ini berdiri diatas sebuah realitas yang kosong. Trend investasi yang membanjiri Indonesia adalah investasi jangka pendek (fortopolio). Ini berkontradiksi dengan kenyataan semakin menurunnya nilai investasi lansung (FDI) dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai contoh, kuartal pertama tahun 2003 arus investasi asing (FDI) langsung minus US$ 2,6 miliar, sedangkan pada 2004 penurunan masih akan terus terjadi dengan prediksi minus US$ 3,9 miliar. Investasi asing berbentuk portofolio meningkat tahun 2003 mencapai US$ 1,2 miliar. Hingga Maret 2007, dana asing mencapai Rp 510,74 triliun atau lebih dari separo total kepemilikan saham senilai Rp 745,16 triliun[1]. (2). Liberalisasi ekonomi dan perdagangan yang sangat agressif. Ketundukan pemerintah Indonesia terhadap anjuran WTO, memaksa untuk meliberalisasikan semua sektor ekonomi, termasuk yang vital—menguasai hajat hidup orang banya. (3). Tingkat inflasi yang tinggi dan kemampuan daya beli rakyat yang sangat rendah. Kemudian, pemerintah Indonesia belum sanggup mengendalikan harga, terutama harga kebutuhan pokok (minyak goreng, beras, kedele) dan kenaikan harga BBM.

Kenaikan harga minyak dunia yang sudah menembus level 112US$/barel beberapa pekan lalu, merupakan ancaman baru atas kerawanan ekonomi Indonesia untuk digilas oleh krisis. Mengacu pada model pengelolaan migas seperti saat ini, jelas, kenaikan harga minyak dunia akan memberikan tekanan baru dalam APBN. Di dalam negeri, kelangkaan BBM sudah berlansung sepanjang tahun 2007. situasi ini menyebabkan dua hal, yakni pertama di berbagai daerah rakyat antre untuk mendapatkan BBM (bensin dan minyak tanah). Kedua terpukulnya industri dalam negeri sehingga banyak diantaranya yang harus gulung tikar. Sangat ironis memang, Indonesia yang pernah menikmati periode “bonanza minyak” tahun 1970-an, sekarang harus merasakan dampak negatif dari kenaikan minyak dunia. Sumur-sumur minyak yang masih eksis, rata-rata masih merupakan peninggalan kolonial dan umurnya sudah sangat tua. Tekhnologi yang digunakan oleh pengelolaan minyak Indonesia sangat tertinggal jauh dibandingkan dengan tekhnologi yang dibawa MNC. (2). Eksploitasi selama bertahun-tahun tidak disertai dengan upaya penelitian dan pencarian sumber-sumber minyak yang lain. Pemerintah tidak memfasilitasi ahli geologi untuk melakukan survey terhadap daerah-daerah baru yang memiliki cadangan minyak potensial. (3). Peran negara (state) dalam mengontrol ketersediaan/ ketahanan energi nasional terus melemah, seiring dengan dikeluarkannya UU Migas nomor 22 tahun 2001 yang memberi keleluasaan kepada MNC untuk mengeksploitasi minyak Indonesia dari hulu sampai kehilir. Akibatnya, Sebanyak 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia dimiliki oleh perusahaan multinasional (asing). Perusahaan nasional hanya punya porsi sekitar 14,6 persen. Data terbaru di BP Migas menyebutkan, hanya ada sekitar 20 perusahaan migas nasional yang saat ini mengelola lapangan migas di Indonesia. "Dari 20 perusahaan tersebut, baru 10 perusahaan yang sudah berproduksi.

Industri di dalam negeri merupakan industri dengan basis tekhnologi dan modal yang sungguh kecil. Menilik pada sejarah kehadirannya, seluruh industri termaju di Indonesia saat ini tidak berdiri di atas kebutuhan ekonomi dalam negeri, melainkan atas permintaan dan kebutuhan ekspansi modal asing. Bila dibandingkan, sistem yang berjalan sekarang hanya kelanjutan dari sistem ekonomi kolonial, yang sempat terinterupsi sejenak di masa revolusi kemerdekaan dan separuh masa pemerintahan nasionalis Soekarno. Latar belakang sebagai negeri yang perekonomiannya bergantung pada asing ini, membawa kerawanan yang sudah diramalkan sedari awal. Secara umum kelemahan pokok Industri dalam negeri adalah karena pertama kelemahan stuktur industrinya, kelemahan ini berbasiskan pada faktor tidak adanya pembangun industri basis industrialisasi (modernisasi industri) seperti baja, mesin –terutama mesin pertanian, petrokimia, farmasi dan telekomunikasi. Kelemahan struktur industri dalam negeri semakin diperparah dengan ketergantungan pada bahan baku impor. Selain itu, sangat minim industri pengelohan, sehingga sulit mengharapkan nilai tambah dan berharap akan memperluas lapangan kerja. Kedua mahal dan langkahnya pasokan energi dan bahan bakar (listrik, BBM dan gas). Akibat dari kebijakan pemerintah yang mengorientasikan gas untuk diekspor ke Jepang, Malaysia, dan Singapura, keberadaan industri dalam negeri justru terancam gulung tikar akibat kurangnya pasokan gas. Lihat saja kasus yang menimpa Pt.Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang berhenti beroperasi karena hilangnya pasokan gas, padahal PIM berdekatan dengan korporasi penghasil gas, yakni: ExxonMobil. Ketiga minimnya infrastuktur (riset, transfortasi umum, pelabuhan, bandara, dan lain-lain).


Kehancuran industri dalam negeri telah mendorong situasi ekonomi Indonesia dalam bayang-bayang krisis yang mengerikan; penganggurang yang tinggi (40% dari angkatan kerja), tingkat inflasi yang tinggi (6-6,5%), upah real pekerja yang jatuh, serta harga kebutuhan pokok yang terus melambung. Situasi ini akan menambah beban penderitaan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia, disamping beban penderitaan lainnya, seperti bencana alam; banjir, gempa bumi, dan longsor. Seorang ibu bersama 3 orang anaknya meninggal dunia di makassar, karena kelaparan, tidak pernah makan selama berhari-hari, padahal makassar dan sekitarnya adalah penyuplai beras utama di Indonesia. gambaran situasi ini, merupakan buah pahit yang harus ditelan rakyat Indonesia, padahal negeri ini sungguh kaya-raya.

Kehancuran pertanian

Ditengah tekanan berat terhadap sistem perekonomian kita, sektor pertanianlah yang paling dikorbankan, dan mereka yang bekerja disektor ini, merupakan yang paling menderita akibat situasi tersebut. Masuknya Indonesia dalam perjanjian pertanian (AoA) WTO tahun 1995 dan tunduk dalam LoI IMF pada tahun 1997, telah membuat liberalisasi pertanian di Indonesia berlangsung secara radikal dan lebih cepat dari yang direncanakan. Liberalisasi sektor pertanian berarti menghilangkan fungsi negara yang seharusnya melindungi pertanian dalam negeri. Petani Indonesi yang di dominasi petani gurem, dengan kemanpuan tekhnologi rendah, dipaksa bertarung dengan petani negara maju yang masih terus menerus mendapat subsidi dari pemerintahnya. Kerangka dasar Agreement of Agriculture(AOA) sendiri, adalah pengurangan tarif bagi produk dari negara-negara maju, dan mengkonversi semua hambatan perdagangan bebas dengan tarif. Akibatnya, poduk-produk pertanian dengan harga murah dan di dukung tekhnologi membanjiri pasar dalam negeri, sekaligus genderang kematian bagi produk pertanian lokal. Untuk sektor pertanian, hasil pemantauan harga-harga perdesaan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 23 Provinsi di Indonesia dalam bulan April 2007, menunjukkan Nilai Tukar Petani (NTP) secara nasional mengalami penurunan sebesar 3,22 persen dibanding NTP Maret 2007.

Liberalisasi pertanian yang radikal tersebut setidaknya bisa dilihat dari tekanan IMF atas pemerintah Indonesia dalam hal : (1) pencabutan subsidi pupuk dan liberalisasi tata niaga pupuk yang sebelumnya dikendalikan PUSRI. Hal ini dilakukan dengan tanpa kompensasi apapun bagi petani, yang mengakibatkan melonjaknya harga pupuk dari Rp.450/kg menjadi Rp. 1.115/kg. Hal tersebut berakibat pada peningkatan biaya produksi petani menjadi 2 kali lipat. (2) Pemerintah melikuidasi peran BULOG, sebagai instrumen untuk menjaga stok pangan dan perlindungan petani dengan membuka peran swasta secara luas untuk mengimpor beras. Pemerintah juga menghapuskan pemberian kredit likuiditas Bank Indonesia bagi Bulog untuk membeli gabah petani. (3) Yang paling fatal adalah mematok tarif impor pangan pada angka 5 %, untuk beras sebagai makanan pokok bahkan sampai 0 % pada bulan September 1999. Seiring dengan dibukanya swasta untuk mengimpor beras maka beras impor membanjiri pasaran beras domestik, dan memenuhi gudang gudang importir beras. (4) Sejak tahun 2001, pemerintah menghapuskan skema kredit murah untuk petani dan digantikan dengan kredit komersial dengan nama Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Akibatnya penyerapan petani terhadap kredit menjadi rendah, sehingga petani tidak bisa menutupi melonjaknya biaya produksi. (sumber; Neoliberalisme, Indonesia dan Kaum Tani).

Sistem Politik yang dikankangi Kekuatan Lama

Panggung politik pemilu 2009 tinggal setahun lagi. Belum juga, memperlihatkan prestasi ekonomi, politik, budaya, dan kemanan, SBY dan JK sudah terlibat dalam rivalitas memperbaiki image, guna menarik dukungan rakyat dalam pemilu 2009. tidak ketinggalan, tokoh-tokoh lain seperti Wiranto, bang Yos, Amien Rais, Sri Sultan HB X, dan Megawati sudah memperlihatkan ancang-ancang untuk kepentingan politik di pemilu 2009. tidak tahu malu, SBY dan JK mencoba merangkul hati rakyat, namun kebijakan-kebijakannya semakin jauh meninggalkan harapan rakyat. Pemerintah tidak sanggup melakukan tindakan untuk mengendalikan harga dan mengontrol perdagangan umum, karena kalau itu dilakukannya, mereka harus menerima resiko berhadapan dengan bos-bos imperialisnya; WTO dan korporasi asing.

Untuk pemberantasan korupsi pun, kelihatan SBY-JK sama sekali tidak memiliki keberanian dan kemampuan. Keputusan kejaksaan agung untuk menghentikan penyelidikan kasus BLBI, benar-benar sebuah bukti kemandulan sistem penegakan hukum rejim SBY-JK. Tak ada tindak pidana korupsi. Itulah kesimpulan tim penyelidik BLBI Kejaksaan Agung terhadap Anthony Salim dari Bank Central Asia (BCA) dan Syamsul Nursalim dari Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Selain itu, kedua pengusaha tersebut juga dinilai telah menyelesaikan kewajiban membayar utang kepada negara. Akan tetapi, fakta akan terus mencari jalan untuk mengungkapkan kebenaran. Ketua tim jaksa penyelidik BLBI, Jaksa Urip Tri Gunawan, akhirnya kedapatan menyambangi Anthony salim dan kedapatan menerima suap. Sistem peradilan di Indonesia memang dikenal selalu menjadi jongos bagi orang kaya dan pemilik modal, namun sangat beringas ketika berhadapan dengan orang miskin. Anak kecil yang tidak pantas untuk dihukum, dimasukkan dalam jeratan hukum.

Ditengah ancang-ancang mengambil star menuju pemilu 2009, partai politik besar dan elit politik lama sudah menset-up sebuah sistem pemilu dan sistem kepartaian yang hanya menguntungkan kelompok disekitar mereka. UU pemilu yang baru disahkan sangat kental memberikan keuntungan kepada partai-partai besar, tetapi menjegal partai kecil (apalagi yang kiri). Syarat-syarat pemilu yang diinginkan oleh partai-partai besar dan politisi tua adalah syarat yang tidak memberikan peluang kepada kekuatan politik baru, terutama yang berbasiskan kepentingan rakyat miskin. Keinginan PKS untuk memasukkan criteria presiden harus sarjana memperlihatkan maksud mereka untuk menghilangkan partisipasi dan hak-hak politik rakyat untuk memilih dan dipilih.

Calon perseorangan yang sudah dimenangkan oleh mahkamah konstitusi sengaja diundurkan dan tunda pembahasannya oleh pemerintah dan DPR. Alasannya jelas; mereka tidak menginginkan kemunculan kekuatan politik alternatif yang akan memotong tradisi politik mereka. Partai-partai sangat menyadari pentingnya pilkada sebagai ajang konsolidasi mereka untuk merebut daerah-daerah yang sekaligus nanti untuk basis lumbung suara.

Perlu untuk dijelaskan bahwa desain politik sekarang tidak berbeda jauh dengan desain politik jaman orde baru. yang berbeda hanyalah pengenalan bentuk demokrasi baru yang dikenal dengan demokrasi liberal. Kosakata “demokrasi” yang merambah dalam berbagai aspek kehidupan politik, termasuk institusi, tidak bisa diyakini sebagai demokrasi yang sesungguhnya. Kenyataan memperlihatkan bahwa demokrasi hanya merupakan sebuah mantra-mantra yang diwujudkan dalam metode yang sangat procedural dan sangat jelas menguntungkan segelintir elit. Kemenangan partai besar dalam mendesain aturan pemilu untuk kepentingan mereka, merupakan pembuktian bahwa elit masih mengontrol kekuasaan diatas kepentingan massa.

Jalan Ekonomi Baru dan Kepemimpinan Baru

Penyebab utama keterpurukan ekonomi nasional sekarang berasal dari dua hal yang utama, yakni (1). jalan ekonomi neoliberal yang masih menjadi mashab/kiblat banyak tokoh-tokoh politik dan partai-partai yang berkuasa sekarang. Mereka dengan sepenuh keyakinan busuknya, menyerahkan kekayaan alam dan tenaga kerja Indonesia kepada eksploitasi korporasi-korporasi asing. Tidak ada kedaulatan ekonomi dalam pengertian minimal sekalipun. Kebijakan perekonomian (dari program hingga regulasinya) mengabdi kepada perluasan kepentingan korporasi asing dalam menguasai sektor-sektor ekonomis di Indonesia.(2). Kepemimpinan nasional sekarang ini, lebih merepresentasikan kebijakan ekonomi dan politiknya untuk melayani dan memfasilitasi kepentingan korporasi dan negara-negara imperialis. hampir semua parpol-parpol besar sebenarnya memiliki arah dan kecenderungan yang sama dengan kepemimpinan nasional yang ada sekarang. Pertentangan politik diantara mereka, hanya merupakan intrik-intrik kecil dimeja makan untuk menentukan siapa yang mendapatkan porsi makanan yang lebih banyak.

Bagi kami, jalan untuk mengatasi persoalan ini, tidak lain, yakni dengan melakukan koreksi total dan membanting stir haluan ekonomi dengan jalan ekonomi baru. jalan ekonomi baru haruslah merupakan jalan ekonomi yang akan menegaskan pertama kali soal kedaulatan ekonomi bangsa Indonesia kepada negara-negara imperialis dan korporasi asing. Kemandirian ekonomi nasional bermakna; Penguasaan cabang-cabang produksi yang penting, yang mengusai hajat hidup orang banyak oleh Negara. Penguasaan ini juga mensyaratkan bahwa bumi dan air (beserta kekayaan alam yang terkandung didalamnya) harus dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat. Kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan bangsa-bangsa didunia, ataupun dengan lembaga internasional, harus didasarkan pada prinsip saling menguntungkan, setara dan pengakuan akan kedaulatan bangsa masing-masing.

Kedaulatan ekonomi akan menemukan pijakan kuat dari program ekonomi baru yang berorientasi untuk kesejahteraan rakyat. Tekanan pertamanya adalah pengambil-alihan perusahaan tambang asing yang sekarang mengankangi 85% pengelolaan migas dan mineral kita. Sektor-sektor ini juga sangat penting bagi basis pembangunan industri modern yang kuat, dalam hal menyediakan pasokan bahan baku murah dan limpahan keuntungan sebagai sumber pembiayaan. Yang kedua dengan melakukan penghapusan utang luar negeri yang bukan hanya membebani anggaran negara, tetapi selama ini menjadi instrument negara imperialis dan kakitangannya menjerat negara debitur untuk menjalankan scenario neoliberalisme. Dilaporkan bahwa jumlah dari bunga (Rp 91 triliun) dan cicilan pokok (Rp 59,6 triliun ) utang yang harus dibayarkan oleh negara di tahun 2008 mencapai nilai 150-an trilyun rupiah. Kemudian yang ketiga adalah industrialisasi nasional. Makna praktis industrialisasi adalah memajukan tenaga produktif menjadi lebih modern, dapat diakses secara massal, dan tinggi kualitas. Tanpa kemajuan tenaga produktif, negeri ini tidak akan punya ketahanan ekonomi menghadapi gempuran neoliberalisme. Cita-cita industrialisasi nasional adalah menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat, dalam pengertian; kebutuhan barang dan jasa tercukupi, masyarakat punya daya beli, karena penghasilan yang layak disertai produktivitas tinggi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang maju secara adil dan merata. Berdiri sejajar dengan itu, industrialisasi juga bermakna membangun ketahanan ekonomi nasional, sehingga kedaulatan sebagai negara-bangsa nyata terwujud.

Jalan ekonomi baru mustahil bisa dijalankan oleh elit politik dan kepemimpinan nasional yang ada sekarang. Harus ada sebuah proses politik yang membidani kelahiran kepemimpinan politik baru, yang berakar dan bersumber dari partisipasi politik rakyat. Proses penciptaan kepemimpinan politik baru ini harus diusahakan kepada pendirian partai baru yang bersandarkan pada program anti-imperialisme. gerakan tani yang terus berkembang mengambil bentuk-bentuk aksi-aksi spontan dan terlokalisir harus disatukan dalam sebuah spectrum perjuangan politik yang luas. Demikian pula dengan bagian gerakan yang lain, harus aktif dalam memperjuangkan kelahiran kekuatan politik baru yang akan menjalan program ekonomi baru.

[1] Dalam tahun 2005 jumlah modal asing yang masuk ke dalam negeri dalam bentuk investasi langsung mencapai 8,55 miliar US dolar yang dinvestasikan pada 785 proyek. Selama Januari sampai dengan Oktober Tahun 2006, jumlah modal asing bertambah sebesar 4,48 miliar US Dolar yang dinvestasikan pada 770 proyek (Erna S. U. Girsang, Bisnis Indonesia : 15 Nopember 2006).

Food Crisis dan Ketidakadilan Global

Oleh: Rudi Hartono

Pangan adalah kebutuhan paling vital untuk semua, tanpa memandang bangsa, agama, dan warna kulit. Sehingga, dari dulu Fidel Castro mengatakan, karena menyangkut kepentingan rakyat, persoalan pangan harus diurus secara sosial (negara) bukan oleh swasta (korporasi). Pernyataan Castro ini ada benarnya. Beberapa hari terakhir, media massa mengangkat tema “food crisis” yang mengancam beberapa negara di dunia, terutama yang berlabel “negara dunia ketiga”. Jossette Sheeran dalam majalah The Economics menyebut fakta ini sebagai “the Silent Tsunami”. Sebuah bahaya yang datang tiba-tiba dan menyebabkan kematian banyak orang. Kekhawatisan Sheeran bukan tanpa alasan, kenaikan harga pangan (Jagung, beras, Gandum, dan kedelai), telah membimbing beberapa negara dunia ketiga dalam kerusuhan dan ketidakstabilan politik. Krisis pangan telah menimbulkan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dipasar internasional mencapai 70-130%. Beberapa komoditi yang naik adalah beras (74%), tepung terigu (130%), jagung (31%) , kedelai (87%) dan minyak goreng.

Direktur Bank Dunia, Robert Zoellick memperkirakan, food crisis akan mendorong 100 juta orang miskin di negara berkembang menjadi lebih miskin lagi dan tidak dapat mengakses bahan makanan. Food Agriculture Organization (FAO) mengidentifikasi 36 negara di dunia yang rentan mengalami krisis pangan, 21 diantaranya berada di Afrika. Kerusuhan dan huru-hara meledak dimana-mana. Di Haiti, 4 warga tewas dalam aksi kerusuhan, 40 orang tertembak di Cameron dalam sebuah aksi protes kenaikan harga makanan, 200 orang ditangkap di Burkina Faso, 24 ditangkap di Senegal, ribuan petani tempe dan kedelai menyerbu istana negara di Indonesia, dan demo pekerja di Bangladesh. Keprihatinan ini membuat masyarakat inggris mengeluarkan ungkapan:" that's their food that you burn for your car".

Fakta dibalik “Food crisis”

Berbagai pengamat ekonomi dan pejabat dunia masih bersilang pendapat atas persoalan ini. Homi Kharas, seorang peneliti di Brookings Institution menilai, kenaikan harga bahan makanan didorong oleh pertumbuhan populasi dunia dan perubahan pola konsumsi. Cara pandang ini, mengingatkan kita dengan teori Thomas Malthus yang menganggap bahwa laju pertumbuhan penduduk tidak sebanding dengan pertambahan jumlah penduduk. Pendapat ini kurang tepat! Menurut World Hunger Education Service , sebuah NGO yang berbasis di AS, produksi agrikultur global sanggup mencukupi 17% kalori per-orang seluruh dunia, meskipun jumlah populasi meningkat. Ada lagi pendapat yang mempersalahkan pertumbuhan ekonomi China yang spektakuler sebagai penyebab kenaikan harga. Inipun pendapat yang kurang tepat, mengingat China masuk dalam daftar pengekspor beras, gandum, dan jagung. Lagipula tingkat konsumsi seluruh populasi China adalah tiga kali lebih rendah dibanding dengan konsumsi masyarakat Eropa dan AS.

Lalu Apa penyebab sesungguhnya krisis pangan ini? Pertama, kenaikan harga minyak dunia yang melampaui 100USD/barel telah memicu kenaikan harga-harga komoditi lain. Kenaikan harga minyak menyebabkan cost produksi yang dikeluarkan petani membengkak, cara satu-satunya untuk mengatasi situasi ini adalah penyesuaian harga. Tidak adanya energi alternatif yang lebih murah membuat petani tidak bisa melepaskan fossiel fuel sebagai bahan bakar mekanisasi pertanian. Kedua, kenaikan harga-harga minyak juga telah mendorong negara-negara didunia (utamanya negara maju) beralih pada bioenergi (Bio-fuel). Tahun lalu produksi grain (biji-bijian seperti padi, jagung, gandum dll) dunia mencapai rekor tertinggi yaitu 2,1 milyar ton, naik 5 persen dari tahun sebelumnya. Dari 2,1 milyar ton, menurut organisasi pangan PBB, FAO hanya 1,1 milyar ton akan dikonsumsi. Sebagian lagi diolah menjadi biofuels. 20 juta hektar lahan pertanian AS sekarang dipakai untuk agrofuels, dan ini diikuti oleh Argetina, Canada, Uni Eropa, dan Asia. Selama 2007 diperlukan jagung sebanyak 85 juta ton (atau 25% dari jumlah keseluruhan jagung yang dipanen) diubah menjadi etanol. Ketiga, melonjaknya harga-harga bahan makanan pokok telah menjadi kesempatan menggiurkan bagi spekulan. Banyak spekulan kredit perumahan mengalihkan kreditnya pada komoditi bahan makanan, menyebabkan harga bahan pangan meningkat drastic. Keempat, kenaikan harga pangan juga disebabkan oleh climate change. Meskipun tidak dominan, akan tetapi, perubahan iklim dan bencana alam telah menyebabkan kegagalan panen di berbagai negara eksportir.

Bentuk Ketidakadilan

Di Eropa dan negara-negara maju, biji-biji pangan (jagung dan kedelai) diubah menjadi ethanol, untuk bahan bakar kendaraan jenis SUV-Mobil bermesin besar. Sedangkan di Indonesia, mayoritas penduduknya menggantungkan hidup pada makanan tempe (dari kedelai) sebagai bahan makanan. PBB mengatakan, penggunaan 232 Kg jagung untuk 50 liter tangki mobil setara dengan memberikan makan kepada anak-anak kelaparan seluruh dunia, dalam setahun. Korban utama food crisis ini adalah penduduk yang berpendapatan rendah (2 USD versi bank dunia), Dimana saat ini 2,8 milyar - hampir separuh dari penduduk dunia - hidup dengan pendapatan 2 US dollar. Mereka umumnya tersebar di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Di Indonesia, Dengan pendapatan Rp. 18.000 per-hari, maka sebuah keluarga di Indonesia hanya sanggup membeli beras, minyak goreng, tempe dan gula pasir, inipun disertai jurus ”menghemat”. Kalau pendapatan sehari hanya cukup untuk membeli makanan pokok (sembako), kebutuhan lain seperti sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan akan terabaikan. Berdasarkan kecukupan kalori versi BPS dan harga beras saat ini sebesar Rp. 5000 per liter (petani kita rata-rata net consumer), dalam satu rumah tangga petani (4 orang) minimal harus mempunyai pendapatan sebesar Rp 26400 per hari. Sedangkan pendapatan real petani (dengan 1 hektar lahan) dari hasil produksi beras adalah sebesar Rp.17.500 per hari per keluarga tani (dengan harga GKP sebesar Rp. 2200). Ini jelas tidak mencukupi angka kebutuhan kalori.

“Saat ini, FAO mengumpulkan dana 500 juta USD untuk meredam krisis pangan. Disisi yang lain, AS menggelontorkan 500 juta USD per-bulannya untuk mendanai invasi ke Irak.” Ungkap Hugo Chaves, Presiden Venezuela. Inilah tatanan dunia yang kita anggap normal!

*Rudi Hartono, Penulis adalah Pengurus Eksnas LMND, Peneliti di Lembaga Pembebasan dan Media Ilmu Sosial (LPMIS) dan Koordinator divisi seni Sanggar Satu-Bumi.

RAKYAT DAN AKTIVIS PRO-DEMOKRASI DALAM MENGHADAPI PEMILU 2009

Oleh : Randy Syahrizal


Pemilu 2009 ini akan diramaikan oleh tiga puluh delapan (38) partai politik nasional, enam partai politik lokal (khusus di Aceh), kurang lebih seribu kandidat DPD, dan lebih dari sebelas ribu calon anggota DPR RI. Keseluruhan jumlah tersebut memperebutkan 560 kursi DPR RI dan 132 kursi DPD. Dengan demikian, fragmentasi masih menjadi sajian dominan dalam kompetisi politik lima tahunan kali ini. Dapat dikatakan lebih parah dibandingkan pemilu periode sebelumnya.

Sedangkan ditataran lokal (baik provinsi maupun Kabupaten Kota), tak bisa dipungkiri akan menjadi pertarungan fragmentasi politik yang paling tajam. Ini dapat dipahami, melihat bahwa ukuran keberhasilan sebuah partai politik ditingkatan pusat (DPR-RI dan DPD) tak bisa lepas dari keterukuran (maksimalisasi) suara ditingkatan Kabupaten/Kota, sebagai basis konstituen para politisi yang akan bertarung memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Dari wacana fragmentasi diatas, pelajaran apa kemudian yang akan ditarik oleh Rakyat dan Aktivis Pro-Demokrasi sebagai basis konstituen pada pemilu 2009..?

Benarkah Rakyat akan Bingung..?
Bisa dipastikan bahwa konsentrasi domisili masyarakat umum secara luas berada diteritori tingkat 2 (dua) dalam logika teritori negara. Dengan begitu, sosialisasi (kampanye) garis politik masing-masing partai politik akan dikonsentrasikan diteritori tingkat 2 (dua). Lantas pertanyaannya adalah, “Seberapa rasionalkah masyarakat kita (Indonesia) dalam mengambil pilihan politik dipanggung Pemilu 2009..?” jika kemudian sebagian besar pengamat politik mengatakan bahwa pemilih di Indonesia masih bersifat feodalistik dan jauh dari nilai-nilai rasionalitas, pertanyaannya kemudian “Apakah Rakyat dibingungkan oleh Kampanye Partai-Partai Politik yang secara massif berbicara Nasionalisme dan Program-program populis..?
Saat ini menurut saya, secara garis besar, keterwakilan garis politik bisa dilihat dari latar belakang para pendiri partai politik tersebut. Bisa dilihat bagaimana fragmentasi politik diisi oleh bukan aliran idiologi sejatinya, melainkan mewakili sekte-sekte dalam idiologi agama, varian-varian semu (palsu) dari idiologi Pancasila dan sisa-sisa Dwi Fungsi ABRI yang dicerminkan melalui “kelatahan” mantan Perwira ABRI yang turut membangun Partai Politik. Sudah jelas bahwa ini adalah fragmentasi semu yang menurut saya akan membuat bingung rakyat. Pemilih bisa saja terjebak pada propaganda palsu, yakni meyakini fenomena politik “trendsetter” partai politik, para Caleg, maupun para Capres yang saat ini gemar berbicara “Anti Penjajahan Asing”. Fragmentasi politik semu ini lah yang akan meramaikan panggung pemilu 2009. bagaimanalah fragmentasi berjalan ditengah-tengah masyarakat..?

Fragmentasi Politik

Tokoh-tokoh berlatar belakang militer saat ini juga banyak terlibat (membangun) partai-partai politik sebagai alat merebut kekuasaan politik. Anehnya tokoh-tokoh berlatarbelakang militer saat ini tidak bisa bersatu dalam sebuah partai politik, yang bisa diamsumsikan mewakili kepentingan pihak militer.
Setidaknya lebih dari empat partai politik (Partai Demokrat, Partai Hanura, Partai Gerindra, PKPB, PKPI, dll) adalah partai-partai yang diisi oleh mantan pimpinan ABRI. Sejumlah elit sipil yang sebelumnya berafiliasi ke Partai Golkar (sebagai instrumen politik ABRI di masa Orde Baru) turut menyebrang, terutama ke partai-partai yang disebut di atas. Kelompok Muhamadiyah yang sebelumnya diklaim oleh PAN, kini sebagian kalangan mudanya bergeser ke Partai Matahari Bangsa (PMB). Nasib serupa dialami oleh PKB, yang setelah terbelah ke dalam PKNU, kemudian kembali terbelah akibat konflik internal (Gus Dur vs Muhaimin). Sementara PDIP, setelah perpecahan menjelang Kongres di Bali yang melahirkan PDP (Partai Demokrasi Pembaruan), tampak mulai menuai peningkatan popularitas sebagai hasil sebagai sikap oposisi loyal terhadap pemerintahan SBY-JK.

Kemunculan parpol-parpol baru dapat dipandang sebagai bagian dari fragmentasi politik, dengan terlibatnya sejumlah tokoh politik dalam membidani partai dimaksud, untuk kepentingan pemilihan presiden. Misalnya Partai Hanura untuk Wiranto, Gerindra untuk Prabowo, Partai Republiku dan beberapa partai lain untuk Sutiyoso, dll.
Kita dapat mengurai berbagai faktor yang mengakibatkan fragmentasi tersebut di atas. Namun, yang terpenting, dan menjadi persoalan umum dari fragmentasi tersebut, adalah ketiadaan ideologi yang dipegang oleh para politisi sebagai pembimbing langkah politik, menuju cita-cita kolektif rakyat Indonesia. Fragmentasi pada level elit politik ini berpotensi menjalar pada level rakyat, terutama dalam corak sosial masyarakat yang masih menganut sisa-sisa budaya feodalisme (patronase, primordial, dll). Namun kekosongan ideologi ini juga dapat menjadi potensi revolusioner (perubahan), disaat rakyat semakin kritis dan tidak puas terhadap langkah-langkah yang diambil oleh para pejabat negara maupun pemerintahan, yang mereka pilih pada pemilihan umum lalu.

Rakyat dan Aktivis Prodem Tak Boleh Bingung, Masih Ada Alternatif
Dalam situasi sekarang, ketika arus serangan neoliberalisme dibiarkan (bahkan justru dilayani untuk) merajalela oleh pemerintah berkuasa (SBY-JK), secara tidak terhindakan memunculkan berbagai kritik, ketidakpuasan, protes, dan perlawanan. Keluhan tentang kesulitan hidup telah menjadi hal yang umum bagi mayoritas rakyat, baik di kota maupun di pedesaan, dan tanpa mengenal batas keyakinan ideologi-politik. Semakin banyak rakyat (buruh, petani, pengangguran, pedagang dan pengusaha kecil, bersama keluarga dan anak-anaknya) yang terjerembab lebih dalam ke kubang kemiskinan. Semakin banyak golongan masyarakat yang melihat dan merasakan dampak dari ketidakadilan korporasi, keserakahan yang mengorbankan rakyat banyak, seperti yang ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan asing. Secara teoritis, seharusnya spektrum politik (atau ideologi) nasionalis (progresif dan konservatif), Sosialis/Kerakyatan, dan Religius Progresif, dapat merangkai sebuah platform bersama.

Harus diakui bahwa tindakan duduk bersama untuk memecahkan persoalan bangsa hampir tidak pernah dilakukan dan tidak pernah menjadi program utama partai-partai politik beserta politisi-politisinya. Politik yang dijalankan sangat mencerminkan tindakan yang pragmatis, yakni hanya sekedar mengejar kekuasaan semata. Kondisi ini mau tidak mau membuat rakyat menjadi bingung.

Rakyat Indonesia hari ini mutlak membutuhkan terobosan baru yang berani dan mendasar, dan memiliki harapan (prospek) jangka panjang untuk memperbaiki benang kusut nasib rakyat kedepan. Hampir pada setiap momentum pemilu, para aktivis berkumpul untuk membicarakan dan mengkampanyekan sebuah Gerakan Anti politisi Busuk. Efeknya adalah, semakin bertambahnya angka Golput. Ini bisa dipahami, karena para aktivis saat ini tidak pernah berbicara sebaliknya, yakni Mendukung Politisi Bersih dan Pro Terhadap Rakyat. Maka keyakinan rakyat (yang mayoritas Golput) saat ini tidak bergeser sedikitpun, yakni masih saja menganggap semua Parpol itu adalah busuk dan politisinya juga politisi busuk.
Dalam hal tetap berkomitmen berjuang merubah nasib rakyat miskin, saya menantang para aktivis untuk berani mendukung (membuat sebuah gerakan) Politisi Bersih yang Programatik dan Pro Rakyat Miskin. Wujud terobosan baru ini adalah, mengikat seluruh Parpol dan Politisinya untuk berani berbicara luas dihadapan Rakyat mengenai visi-misinya kedepan untuk perubahan nasib rakyat. Ini akan lebih jelas mengukur kesiapan para politisi dan komitmennya berjuang merubah nasib rakyat. Jika parpol serta politisi itu tidak berani mempresentasekan visi-misi dan mengikat komitmennya dihadapan rakyat, para aktivis tersebut tinggal memblacklist saja parpol dan politisi tersebut, sedangkan bagi parpol yang berani dan siap mempresentasekan dan mengikat komitmen perjuangannya, maka kemudian para aktivis dan masyarakat juga harus berani mendukungnya. Mudah-mudahan borok-borok kepalsuan parpol-parpol dan politisi yang selalu mengatasnamakan rakyat dalam berbicara tapi tidak dalam tindakan, akan terasing dari rakyat Indonesia. Bagi saya, wacana ini layak dipraktekkan, sebagai embrio politik alternatif kedepan, untuk kesejahteraan rakyat sesejati-sejatinya.

Ditulis oleh : Randy Syahrizal
Penulis adalah Wakil Ketua DPC – Partai Bintang Reformasi (PBR) Pematangsiantar
dan Aktivis Serikat Tani Nasional (STN) Sumatera Utara, dan Mahasiswa FISIP UT – UPBJJ Medan